Menertawai Nasib Cak Doel

Menertawai Nasib Cak Doel – Review Buku Balada Cak Doel

Sudah lama rasanya tidak membaca bacaan yang cukup ringan dan ditulis dengan kesan yang mengalir. Sampai-sampai terkadang lupa kapan terakhir kali saya baca buku tersebut dan judulnya apa. Hingga Rabu malam yang lalu saya kembali menemukan sebuah buku dan berkesempatan untuk membacanya di malam itu juga. Dan buku itu ialah kumpulan cerita Balada Cak Doel.

Balada Cak Doel sendiri ditulis oleh Bang Ubaidillah dan diterbitkan melalui Penerbit Umbara. Awalnya berekspektasi kumpulan cerita ini bisa saja sekali bagian ceritanya cukup panjang atau mungkin harus mengandalkan pembatas buku untuk mengambil jeda baca. Tapi ternyata realitanya tidak begitu. Ada dua puluh lima cerita pendek yang beneran cukup pendek tentang lika-liku Cak Doel dalam berumah tangga. Dan kerennya lagi, semua ceritanya itu langsung saya lahap habis di malam itu juga. Kebetulan juga di hari itu saya punya waktu yang cukup senggang, jadi rasanya memungkinkan untuk langsung kelar dalam sekali membaca.

Identitas Buku

Review Buku Balada Cak Doel
Judul : Balada Cak Doel
Penulis : Ubaidillah
Penerbit : Umbara
Penata letak dan sampul : Fauzi Syukri
Pemeriksa Aksara : Yuni Zai
Ilustrasi : Wahid Januar
Cetakan Pertama : Oktober 2019
No. ISBN: 978-602-50560-2-4
Tebal: 123 halaman

Sinopsis / Blurb :
Balada Cak Doel berisikan 25 cerita pendek tentang kisah-kisah unik dan kocak dalam rumah tangga Cak Doel sejak istrinya, Yu Siti, dinyatakan sah berbadan dua oleh alat uji kehamilan berbentuk stik bernama “tespek”.
Jika Anda menemukan kesamaan nama, cerita dan tempat, maka itu adalah bagian dari takdir dan nasib yang Anda terima.

Cerita

Ini adalah pertama kalinya saya membaca cerita yang ditulis oleh Bang Ubai—lebih tepatnya juga segala macam bentuk tulisan Bang Ubai pun belum pernah saya baca sebelumnya. Sebuah pembukaan cerita yang cukup bisa membawa pembaca untuk digiring ke cerita-cerita sebelumnya. Walaupun konflik awal terbilang cukup pasaran dan sering ditemukan di cerita-cerita lain, tapi Bang Ubai mampu membuat ceritanya tetap menjadi beda dan terkesan tidak monoton.

Saya tidak tahu apakah Bang Ubai sedikit menyelipkan kisahnya, atau penokohannya terinspirasi dari rumah tangganya. Tapi walau bagaimanapun saya sendiri tetap merasa membaca sebuah kisah rumah tangga yang benar-benar dideskripsikan dengan rinci. Yang serunya, dari cerita ini banyak menambah wawasan saya soal kehidupan di Jawa, bagaimana kebanyakan orang Jawa menjalani hidupnya, dan beberapa pengetahuan sosial-budaya lainnya mengingat saya yanglahir hingga sekarang tinggal di Medan. Semua penokohannya juga pas, benar-benar seperti kisah nyata. Makanya saya masih penasaran, apakah ini beneran ceritanya Bang Ubai yang diubah seperlunya, atau memang mungkin seperti di blurb tadi: bisa jadi itu takdir dan nasib seseorang apabila terdapat kesamaan cerita(?)

Sudah begitu, Bang Ubai rasanya cukup lihai membuat guyonan yang segar. Sepanjang membaca kisahnya Cak Doel tak jarang saya tertawa. Selang beberapa lembar, tertawa lagi. Ya walau tidak terlalu mengekeh, tapi Cak Doel menjadi sosok yang keren karena beberapa kisahnya yang bisa menjadi bahan saya tertawa.

Penulisan

Bukannya menyepelekan Bang Ubai, tapi tulisan Bang Ubai ini memang ringan. Kesan sastra dengan kaidah yang gimana-gimana sepengetahuan saya pribadi juga tidak begitu diterapkan. Tulisannya hanya sekali dibaca pun langsung mengerti tanpa harus ada pengulangan. Itu artinya pemilihan katanya terlalu familiar, meskipun menyelipkan beberapa bahasa Jawa, tapi sama sekali tidak masalah bagi orang-orang seperti saya yang tidak bisa berbahasa Jawa. Mungkin inilah sebabnya saya bisa menuntaskan buku yang lumayan tipis ini dalam sekali baca. Selain karena memang ceritanya yang beneran pendek, bisa dibilang buku ini page turner-lah karena habis membaca satu cerita rasanya kita ketagihan mau membaca kegokilannya Cak Doel.

Mungkin itu sebabnya mengapa Penerbit Umbara tidak menyelipkan pembatas buku, bisa jadi karena memang buku ini sepatutnya habis langsung dilahap sekali baca.

Sedikit mengambil alur maju-mundur karena beberapa cerita mengambil peran dari lika-liku kehidupan Cak Doel maupun Yu Siti di masa lampau menurut saya tidak masalah. Hanya saja ada beberapa cerita yang menurut saya pribadi lebih bagus tidak usah diceritakan ulang ataupun bahkan lebih baik ditiadakan. Kesannya malah hanya ingin mempertebal naskah, karena saya anggap terlalu tidak masuk ke bagian cerita sebelum ataupun sesudahnya. Contohnya cerita Film India yang jelas-jelas menceritakan masalah lampau Cak Doel tapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan benang merah Balada Cak Doel. Cerita tersebut seakan-akan membuat grafik pembaca yang awalnya sudah seru dan antusias dan penasaran akan cerita selanjutnya menjadi agak turun, sebab bagi saya pribadi cerita tersebut tidak ada hubungannya. Malah kalau saya baca skip ke bagian selanjutnya menjadi lebih oke, dan seandainya cerita itu tidak dibaca pun rasanya tidak masalah.

Tapi ini pendapat saya pribadi ya, kebebasan berkreasi tetap ada di tangan Bang Ubai.

Bukan berarti saya tidak menyukai alur maju-mundur di buku ini, justru rasanya tidak salah kok mengambil jenis alur seperti ini. Beberapa juga ada yang pas disisipi alur mundur seperti soal kebiasaan taruhan Cak Doel saat piala dunia dulu yang harus ditinggalkannya karena memang tetap berhubungan dengan cerita. Hanya saja mungkin seperti cerita-cerita yang tadi saya singgung mungkin tak perlulah karena rasanya tidak berhubungan,boleh jadi ditiadakan saja. Walau mungkin jadinya 24 cerita dan lebih tipis lagi, saya rasa gak masalah. Atau bisa saja tambah cerita lain. Kisah Cak Doel kan sepertinya tidak akan habis untuk ditertawakan, bukan?

Desain dan Ilustrasi

Belakangan ini, sampul-sampul buku pun terbilang sederhana. Rasanya beberapa “pemanis” yang banyak seperti khasnya sampul buku yang dulu-dulu sudah mulai jarang terlihat. Begitu juga dengan sampul Balada Cak Doel. Dengan mengambil latar gradasi dan sebuah ilustrasi Cak Doel yang mewakili salah satu ceritanya, sampul ini menurut saya cukup sederhana. Apalagi hanya dipoles judul dengan tipe handwriting, tanpa tagline ataupun yang lainnya.

Ilustrasi di setiap ceritanya juga bagus menurut saya. Lagi-lagi, bisa jadi desain sampul dan ilustrasi yang cukup sederhananya merupakan representasi hidupnya Cak Doel. Melihat ilustrasinya membuat saya teringat dengan beberapa ilustrasi di serial Dilan. Tapi sayangnya, ilustrasi di dalam buku ini membuat spoiler sebab peletakannya yang di tengah cerita, bahkan belum lagi di bagian penceritaan ilustrasi dengan teks dialognya muncul, otomatis pembaca sudah membacanya. Jadi kehilangan kesan sih kalau menurut saya pribadi. Coba saja diletakkan di bagian akhir, saya rasa bisa menambah kesannya menjadi dua kali lipat. Setelah dapat membaca ceritanya sambil membayangkan, eh dapat bonus ilustrasi dari bayangan pembaca. Kan rasanya lebih dapat apa yang dibayangkan dari ilustrasi, dan juga ilustrasi tersebut lebih berpotensi untuk dipandangi lebih lama.
Saya rasa mungkin itu saja pengalaman yang bisa saya bagikan selama membaca Balada Cak Doel. Yang jelas, saya cukup puas menertawai nasib Cak Doel yang dituliskan oleh Bang Ubai. Dengan cerita-ceritanya yang pendek tapi mampu membuat orang lain penasaran akan kisah-kisahnya, saya rasa Bang Ubai sudah berhasillah membuat Cak Doel bakal dapat banyak penggemar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar