Semua Tergantung Manset, Meskipun Ada yang Memakai Singlet

Siang ini, saya baru saja membidik foto di atas dan mengunggahnya di linimasa Instagram Story. Muncul satu pesan langsung yang membalas unggahan tersebut dari seorang teman. Ia menyatakan: yang di tengah couple baru jadian, fix! Saya pun kemudian melihat ulang foto yang saya potret tadi. Ternyata yang ia maksud adalah dua ekor burung—yang saya sendiri tidak tahu apakah mereka berpasangan atau tidak—hinggap memisah di kabel listrik yang di tengah.
 
Saya sedikit tertawa dan kagum membaca balasannya. Saya balas pesannya, kok bisa-bisanya ya kepikiran. Luar biasa sekali! Kemudian dia meminta maaf kalau ia se-random itu. Saya bilang gak masalah, justru dia sangatlah cerdas. Saya saja—yang menangkap momen tersebut—tidak bisa menginterpretasikannya lebih detail, malah dia yang sadar akan detail kecil tersebut.

Dari sini saya semakin sadar dan yakin bahwasannya setiap orang di dunia ini mempunyai cara berpikir dan tingkat kecerdasan yang unik. Perbedaan-perbedaan ini mencerminkan keragaman cara orang berpikir, belajar, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Kita pun juga harus bisa menghargai keberagaman ini, sebab ini tidak hanya memperkaya pengalaman sosial kita, namun juga menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung.

Cara berpikir seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman hidup dan kepribadian. Cara berpikir ini juga membuat kita melihat dunia dari sudut pandang berbeda dan menemukan solusi kreatif untuk masalah kompleks. Misalnya, seorang seniman dapat melihat keindahan dan potensi kreatif pada sesuatu yang tampak biasa bagi orang lain, sedangkan seorang ilmuwan mendekati suatu masalah dengan analisis logis dan empiris.

Di sisi lain, kecerdasan tidak bisa diukur hanya dengan satu cara. Menurut teori kecerdasan ganda Howard Gardner, kecerdasan manusia mencakup berbagai aspek seperti kecerdasan linguistik, logis-matematika, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal. Setiap orang memiliki kombinasi unik dari jenis kecerdasan ini yang menentukan cara mereka belajar dan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.

Maka dari itu sudah sepatutnya kita menghargai perbedaan-perbedaan ini dengan menyadari bahwa tidak ada satu cara berpikir dan belajar yang benar atau salah. Sebaliknya, setiap pendekatan mempunyai nilai dan kontribusi tersendiri. Misalnya, seseorang dengan kecerdasan interpersonal yang tinggi mungkin unggul dalam membangun hubungan dan komunikasi, sedangkan seseorang dengan kecerdasan logis-matematika mungkin unggul dalam memecahkan masalah teknis dan analitis.

Dalam konteks pendidikan dan pekerjaan, menghargai keberagaman pola pikir dan kecerdasan dapat meningkatkan kolaborasi dan inovasi. Dalam lingkungan belajar, dengan menghargai perbedaan pola pikir memungkinkan setiap siswa untuk berkembang sesuai dengan potensi dan minatnya, tidak hanya berdasarkan standar kecerdasan eksakta. Di tempat kerja, tim yang terdiri dari orang-orang dari latar belakang dan pola pikir berbeda dapat memberikan perspektif yang lebih luas, mempercepat penyelesaian masalah, dan mendorong kreativitas.

Selain itu, menghargai keberagaman pola pikir juga penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bersikap terbuka terhadap sudut pandang dan gagasan orang lain, kita dapat memperkaya pemahaman kita tentang dunia dan meningkatkan kemampuan kita untuk berempati dan bekerja sama dengan orang lain. Hal ini juga membantu menghindari prasangka dan stereotip yang dapat menghambat hubungan interpersonal dan sosial.

Menghargai keberagaman pola pikir dan kecerdasan pada akhirnya berarti mengakui bahwa setiap orang mempunyai keunikan yang berharga. Dengan menerima dan menghormati perbedaan-perbedaan ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dimana setiap orang merasa dihargai dan didukung untuk mencapai potensi maksimalnya.

Jadi teringat, beberapa minggu yang lalu saya pernah chit-chat di grup sebuah komunitas blogger di Medan dan membahas suatu hal dan muncul berbagai sudut pandang. Saya pun menyimpulkannya dengan komentar ala netizen kebanyakan: semua tergantung manset. Lalu Kak Iyyah—salah satu anggotanya—membalas: kemarin aku singlet. Ok baik, akan tetap saya hargai itu meskipun diluaran sana juga masih banyak yang memakai miniset atau bahkan banyak juga yang menggunakan korset agar perutnya terlihat singset.

1 komentar:

  1. diakhiri dengan cukup unik, setelah dimulai dengan narasi yang bijak, endingnya komedi

    tapi aku suka dengan hal pola pikir ini, karena kita menyadari perbedaan pola pikir bisa melengkapi sebuah perencanaan, dan hal lainnya

    tapi yang sadar kalo pola pikir itu beda beda tapi gak bisa menerimanya, ini yang agak sulit

    BalasHapus