Berharap Kembali


Diriku masih terdiam di sini. Eh, tunggu dulu! Apa aku tergolong dalam seorang diri? Ah, atau aku emang pantas dikatakan “diri”. Ih, entahlah. Aku saja bingung. Tetapi kudengar orang-orang menyatakan dirinya dengan sebutan “diriku”. Artinya seorang diri saja aku tidak tahu. Padahal aku sebenarnya sepasang, jika salah satu dari bagianku hilang, aku layaknya kehilangan separuh jati diriku.

Entahlah, terserah mau bagaimana. Aku saja sebenarnya pening. Terdiam di sini. Dengan bagianku yang beruntung kepada pemilikku. Aku tak tahu siapa penciptaku. Dulunya aku tahu, sebelum penciptaku menjualku kepada orang lain bersama segolonganku—walau kami berbeda-beda jenisnya. Kupikir orang lain—yang sekarang aku juga lupa itu siapa karena sudah saking lamanya—yang akan menjadi pemilikku. Nyatanya aku tetap dijual kepada orang lain, tapi kini aku dijual sendiri karena orang lain yang membeliku dengan alasan hanya suka denganku.

Atau hanya membutuhkanku. Atau—ah, entahlah. Aku jadi semakin bingung. Yang jelas, inilah pemilikku sekarang. Seorang mahasiswa yang kutahu ia mahasiswa karena beberapa kali ia pernah mengajakku pergi hari Sabtu ke kampusnya. Aku saja sempat bingung kenapa Sabtu kemarin ia berani melangkah ke kampusnya dengan menggunakan sandal, padahal peraturannya bukannya harus memakai sepatu ke kampus? Tapi kurasa karena saat itu sedang tidak ada kegiatan akademik, jadi kurasa tidak ada masalah jika dia membawaku.

Iya, aku sandal. Sepasang sandal—itulah kata-kata orang yang padahal aku tetaplah satu kesatuan, bukan sepasang. Aku hanya bisa diam, tidak boleh bergerak, berbicara di dalam hati. Bahkan sesama sandal saja aku tidak bisa berbicara. Tapi inilah nasibku.

Aku ingin memberitahumu bagaimana nasib menjadi sandal seperti diriku. Rasanya penuh kejutan. Tapi setelah sering mengalaminya, ada beberapa kejutan itu yang bisa kutebak. Setiap pemilikku mengajakku pergi dan ia mengambil diriku dari raknya, terkadang aku menerka-nerka: kemana diriku akan pergi? Tapi aku tetap tenang karena kutahu pemilikku adalah orang yang baik.

Ada kegiatan yang paling kusukai, saat pemilikku pergi denganku ke masjid. Kalau ia sedang kuliah mungkin ia akan membawaku ke masjid saat matahari mau punah sampai malam memakan matahari. Tidak hanya waktu itu ia membawaku ke masjid, saat ayam bernyanyi dengan nyaring ketika matahari mau lahir, ia juga membawaku.

Aku sangat suka dibawa ke masjid. Mendengar suara seseorang dari pengeras suara yang kutahu itu adalah suara adzan. Kutahu itu suara adzan sebab pernah kemarin saat suara itu berbunyi, kemudian pemilikku mengambilku dan bersiap ke masjid. Kemudian ia ke kamar sebelah dan mengetuk pintu kamar sebelah, “Sudah adzan. Ayo cepat, Za!” teriaknya mengingatkan teman sebelah kamar kostnya untuk pergi ke masjid.

Tidak hanya suara adzan, aku suka mendengar suara-suara dari pemimpin mereka saat beribadah, melantunkan bacaan-bacaannya yang kurasa itu merupakan suatu rukun ibadah mereka. Belum lagi saat mereka beramai-ramai bilang “Aamiin”, rasanya sangatlah kompak dan keren sekali.

Minggu siang ini pemilikku melangkahkan kakinya bersamaku. Kulihat ia memakai koko putih dengan sarung. Dikepalanya menghinggap sebuah peci. Ia pergi bersama Reza, teman sebelah kamarnya. Kuduga kami akan pergi ke masjid.

Kurasa sandalnya Reza pasti akanlah senang, sebab ia dibawa pemiliknya pergi ke masjid. Walaupun kami tidak bisa berbicara satu sama lain, tapi perasaanku berkata kalau ia pastilah sangat senang.

Di tiga perempat jalan adzan kembali terdengar. Rasanya sangat indah sekali untuk didengar. Semakin senang rasanya diriku. Dan akhirnya pemilikku sampai dan meninggalkan aku di anak tangga pertama masjid disebelah sandal Reza.

Sungguh, aku sangat beruntung bisa dimiliku oleh pemilikku. Tidak hanya aku, tetapi sandal Reza, juga sandal lainnya yang saat itu sudah banyak di pelataran masjid ini. Lagi-lagi, walaupun kami tidak bisa mengungkapkan perasaan kami satu sama lain, tidak bisa bergerak, bahkan berbicara, tapi aku tetap yakin kalau kami semua sangatlah senang berada di sini.

Tiba-tiba, ada seseorang dari belakangku mendekat. Seketika aromanya bau. Ok, mungkin kau bilang aku tidak punya hidung, tapi tetap saja aku bisa mencium. Sama seperti aku tidak punya telinga, tapi masih bisa mendengarkan adzan. Sungguh, ini sangatlah bau. Aku sangat tidak tahan. Dan apesnya lagi, ia mengambilku, kemudian memakaiku di kakinya. 

Aku berteriak, “hei! Aku bukan kepunyaanmu! Pemilikku sedang beribadah, jangan kau pisahkanku darinya, sebab ia akan susah untuk pulang!”

Tapi tetap saja apalah dayaku, tidak mungkin ia mendengar teriakanku. Sungguh kurasa ini tergolong orang yang tidak terawat. Bayangkan saja, aroma kakinya sangatlah busuk, beda dengan pemilikku. Rasanya aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, sebab kutahu aku semakin lama semakin jauh dengan masjid—juga pemilikku.

Ah, sungguh sedihnya hatiku berpisah dengan pemilikku. Kini, untuk sekian kalinya aku ganti kepemilikan. Apa pemilikku ini seperti pemilikku yang lama? Ah, tak tahulah. Rasanya aku sedih. Baru tadi aku mendengar suara adzan dan aku menunggu saat pemimpin mereka beribadah melantunkan suaranya, tiba-tiba diriku sudah diambil.

Kemudian, aku sampailah entah dimana. Kudengar pemilikku berbicara, “aku akan menang hari ini!”

Lalu orang lain—yang kurasa temannya—heran, “eh, kulihat sandalmu berganti? Kau kemarin kalah judi masih bisa saja kau ganti sandal ya?”

“Hee, ini aku tidak beli,” ucap pemilik baruku. “Aku tadi ambil dari masjid pas aku mau ke sini. Sandal lamaku putus, sebenarnya tadi aku tidak bersandal. Cuman kurasa aspal panas kali, terus kulihat banyak sandal di masjid yaudahlah kuambil aja.”

“Ooh iyalah,” tanggapan dari temannya. “Kukira jago kali udah kalah main judi masih sanggup beli sandal baru. Masi mau bermain lagi?”

“Masih, kali ini aku menang!” katanya dengan muka optimis. “Hei! Kasi dulu aku tuak!”

Dan selanjutnya mereka pun melakukan kegiatan mereka yang aku tidak paham betul kejadiannya seperti apa, sebab aku hanyalah berada di bawah mengalaskan kakinya yang sangat bau. Kini rasanya baunya bertambah, sebab tidak hanya bersumber dari kakinya tetapi dari kaki-kaki temannya. Kudengar mereka meriah sekali di atas sana. Sesekali gelas berdentingan. Aku sedih, mengapa nasibku seperti ini. Belum lagi kulihat sandal-sandal temannya yang usang dan buruk. Apakah aku akan seperti itu nanti?

Ah, sedihnya diriku. Kuharap aku bisa kembali kepada pemilikku sebelumnya.

2 komentar:

  1. ihhh, berasa ikutan sedih baca nasibnya si sendal :) ... bgs ceritanya mas... aku lgs ngebayangin gmn nasib si sendal nanti.. :D

    BalasHapus