Perhatian:
Teks I dan Teks II memiliki kesamaan cerita, hanya beda cara bercerita. Teks I diceritakan dengan teks narasi dan dialog, sementara Teks II diceritakan dengan teks narasi saja.
Teks I:
“Kenapa kau tega?”
Aku benar-benar terkejut. Siapa yang
berbicara tadi? Bukankah di ruangan ini hanya aku sendiri saja? Halusinasi. Ini
pasti hanya halusinasiku saja. Fokus. Tetap fokus! Aku gak boleh terbawa oleh
pikiran yang kacau. Aku tak mau lembur di kantor ini sampai besok pagi.
Masih berkutat dengan layar laptop,
dan sesekali mengedipkan mataku. Sebab, kata Bunda sering-seringlah berkedip,
agar matamu seakan ter-refresh dan membuat mata tidak cepat rabun. Persetan
dengan Excel ini! Sangat banyak sekali data yang harus kukelola.
Persetan untuk yang kedua
kalinya. Mati lampu. Aku harap operator genset atau security
masih berjaga malam. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Hanya diterangi oleh
laptop, dan bisa membuat mataku—
“Kau jahat! Kenapa kau—“
“Apalagi, sih! Aku sedang
bekerja, dan tolong jangan ganggu aku lagi. Besok—” Tunggu! Bicara dengan siapa
aku ini? Kugerakkan kepalaku ke arah kanan tapi kosong. Begitu juga dengan arah
sebelah kiri, juga di depanku.
Tapi tidak untuk arah belakang.
Ia menatapku lekat-lekat. Matanya
berwarna apel, sedangkan kulitnya sangat mirip dengan kanvas. Aku benar-benar shock.
“Andre?”
Itu memang Andre. Ia masih
mengenakan kemeja berwarna arang, begitu juga dengan celana dan dasinya yang
sudah sedikit menjauh dari kerahnya. Ia masih menatapku.
“K-kau,” aku sangat gugup. “Ng-ngapain,
Ndre?”
Dia membisu dan hanya memamerkan
mata apelnya. Ok! Sudah cukup. Ini hanya menghabiskan waktu lemburku. Aku hanya
ingin pulang.
Brak! Laptop-ku
dicampakkannya ke bawah. Aku ingin marah, tapi sudah ciut oleh mata apelnya. Sekarang
ia berusaha untuk membuka dasi dari kerahnya. Kemudian, dasi itu dililitkannya
ke leherku.
“Kau juga harus mati! Kau!
Brengsek! Kau tahu kan, kalau aku sudah jatuh cinta sama Sinta?” Dia menarik dasinya—otomatis
aku tercekik. Tapi, aku masih bisa berbicara, walau tersedak-sedak.
“A-ak-ku ga-k cin-ta s-sam-ma Si-nta!”
Tapi, dia tidak mau mendengar dan
terus mencekikku, sampai—
“Bangun, den! Waktu lemburnya
sudah habis!”
Ah, cuman mimpi!
Teks II:
Aku tidak tahu pasti darimana
suara itu datang. Suara yang menanyakan alasan aku untuk berbuat tega. Yang
benar saja, aku dibilang tega. Tega terhadap apa coba? Sudah cukup baik sekali
aku ini. Rela disuruh lembur demi menyelesaikan Excel untuk data bulan ini
karena Sinta—sekretaris kantor—sedang sakit.
Aku rasa itu hanya sebuah
halusinasi. Aku memang tidak fokus. Bawaanku hanya ingin
pulang-pulang-dan-pulang. Sudah cukup lelah rasanya di sini. Aku sudah tidak
tahu berapa kali aku mengedipkan mata demi menjaga mataku agar tidak rabun.
Persetan! Aku harus lembur dan
listrik harus mati. Hanya satu harapan, semoga saja operator genset ataupun
security masih berjaga di bawah. Kalau tidak aku bisa mati untuk
menuruni tangga.
Lupakan masalah mati listrik. Aku
tetap berkutat dengan laptop-ku. Urusan pulang dengan turun tangga itu
nanti, setelah Excel ini benar-benar selesai. Tapi, ada saja suara yang harus
menggangguku lagi. Aku bentak dia untuk tidak menggangguku.
Kesalahan yang sangat fatal. Aku sendirian
dan aku tampak gila membentak orang yang tidak ada. Aku celingak-celinguk, tapi
tidak bertemu dengan siapa pun.
Kecuali ketika aku menoreh
kebelakang.
Aku melihat Andre—teman sekantorku
yang bunuh diri beberapa hari yang lalu—sedang menatapku dengan tatapan
goloknya. Sangat tajam dan begitu merah. Ia mengenakan kemeja dan dasi yang
sama saat ia melompat dari atas gedung untuk bunuh diri.
Aku gugup, tapi aku tetap
bertanya dia mau ngapain di sini. Tapi, ia tidak menjawab. Dan aku hanya
kembali ke Excel-ku.
Tapi, laptopku
dihempaskannya. Kemudian, ia membuka dasinya dan mencekik leherku dengan dasinya.
Andre bilang aku brengsek karena Sinta—wanita pujaan Andre—mencintaiku. Andre ingin
membunuhku, mungkin agar Sinta juga sakit hati karena tidak ada lagi lelaki
yang dicintainya.
Aku coba untuk meyakinkan Andre
kalau aku tidak cinta dengan Sinta, berharap aku tidak dicekik lagi. Tapi, dia
tetap mencekikku dan—
Aku dibangunkan security. Alhamdulillah,
ini hanya mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar