Pengorbanan



Dahiku mengerut ketika aku sama sekali tidak menemukan dompet di tasku. Kuobok-obok lagi seisi tasku, tapi tetap saja tidak kutemukan dompet peach-ku. Sementara pelayanan yang di depanku mungkin sudah bosan menungguku.

Terus, kalau seperti ini kejadiannya, aku harus bagaimana?

Ok, aku mencoba untuk tenang. Kuberanikan diriku untuk menatap pelayan yang sepertinya kesabarannya mulai menghilang. “Mas, dompet saya hilang. Sumpah, saya sama sekali gak ada uang. Apa saya boleh menghutang dulu di sini? Entar saya pulang ngambil uang, terus saya balik lagi ke sini.”

“Mana bisa, Mbak.” Sontak pelayan itu langsung tidak mempercayaiku. “Memangnya siapa yang bisa percaya sama, Mbak. Kalau Mbak pulang terus Mbak gak balik lagi kemari, otomatis gaji saya bisa dipotong dong, Mbak.”
“Ya masalahnya dompet saya beneran hilang lo, Mas. Nah, Mas periksa saja sendiri!” Kusodorkan saja tasku dengan pasrah dan ia mulai mengobok-obok tasku yang mungkin ada sedikit privasiku di dalamnya.
Setelah puas mengobok-obok tasku dan tidak menemukan sedikit pun uang, ia berpikir sejenak. 
Kemudian, ia melihat pergelangan tanganku, “Ha, itu dia jawabannya!”
Kali ini dahiku makin mengerut, “maksud, Mas?”
“Coba sini gelangmu! Ini bisa jadi jaminan buat saya.” Tangannya langsung mengincar gelangku dan 
aku langsung mengelak.

“Enak saja. Ini gelang pemberian Mama saya. Mana mungkin saya kasi gitu aja dengan orang yang gak saya kenal.”
“Terus mau barang apalagi jadi jaminannya? Lagian kan kalau kamu bayar gelangnya bakalan saya balikin lagi. Sudah cepat!”
Sepertinya, inilah jalan satu-satunya agar aku bisa terbebas dari sini. Kemudian aku rela melepas gelang itu dan memberikannya kepada pelayan tersebut dan setelah itu aku bisa pulang.
Sialan! Kemana perginya dompet itu?  Di situ banyak uangku. Dan kalau tidak ada dompet itu, lantas aku bayar uang kost pakai apa?
~ ~ ~

Aku kembali ke kostku dan mengambil uang-uang receh yang tersimpan di laci lemariku. Ya, walaupun kumpulan recehan, tapi cukuplah untuk membayar makan siangku tadi dan mendapatkan lagi gelang pemberian Mamaku lagi.

Sekarang, tujuan utamaku hanyalah satu: mencari dompetku yang hilang. Kuingat-ingat lagi hari ini aku pergi ke mana saja.
Tadi pagi, aku berangkat kuliah. Tapi, sialnya aku terlambat. Pintu sudah tertutup dan dosen sudah berkoak-koak. Sempat bengong juga aku menunggu sampai kelas dibuka. Tapi, tiba-tiba sebuah SMS membuyarkan lamunanku. Begitu kubuka, ternyata itu SMS dari ayah. Isinya kalau ayah sudah mengirimkan uang saku dan uang kos ke rekeningku. Aku baru ingat kalau sekarang sedang bulan muda. Jadi, langsung saja aku langkahkan kakiku ke ATM terdekat dan langsung mengambil uang kiriman ayah.

Singkat cerita, dompetku langsung tebal dengan lembaran uang pink. Ada saja setan yang mengajakku untuk bolos kuliah hari ini. Aku pikir, tawaran setan itu menarik juga. Maka setelah dari ATM, aku langsung pergi ke toko buku dan akan berburu novel-novel terjemahan favoritku.

Setelah mendapatkan setidaknya tiga novel yang kusuka, langsung saja aku ke meja kasir dan aku masih melihat dompetku untuk membayar ketiga novel yang kupilih tadi. Setelah semuanya terbungkus rapi dengan plastik, langsung saja kubawa novel itu pergi keluar dari toko buku.

Hari sudah semakin siang dan rasanya perutku keroncongan karena dari tadi belum diisi oleh makanan. Maka dari itu, kulangakahkan kakiku untuk pergi makan ke sebuah resto favoritku. Dan 
saat ingin membayar tagihanku, kutemukan bahwa dompetku sudah hilang.
Berarti kemungkinan besar dompet itu tertinggal di toko buku, tepatnya di meja kasir.

~ ~ ~

Aku langsung berlari ke toko buku dan berharap kalau penjaga kasir tadi menemukan dompetku dan rela menyimpankannya untukku. Begitu aku sampai di depan toko buku, tiba-tiba aku menemukan seorang pria yang sedang memegang dompet peach. Dan itu dompetku!

“Akhirnya, ketemu juga sama dompetku ini. Terima kasih ya, Mas!”
Kemudian pria itu tersenyum, “Lain kali hati-hati ya. Dan kalau belanja itu jangan belanjaannya aja yang dibawa, dompetnya juga.”
“Ok, deh Mas. Oh iya, ini ucapan terima kasih buat Mas.” Aku hendak mengeluarkan beberapa uangku dari dompet, tapi tampaknya dia menolak. “Tidak perlu.”

Aku kembali bingung. “Terus, bagaimana saya bisa membalas kebaikan Mas?”

“Saya menolong kamu ikhlas, kok. Gak mengharapkan balasan. Sudah ya, saya pamit dulu. Ada kerjaan yang ingin saja kerjakan.” Pria itu ingin melangkah, tapi buru-buru aku cegah.
“Mas, tunggu dulu! Bagaimana kalau saya akan bantu pekerjaan yang akan Mas kerjakan?”
Pria itu berbalik dan tersenyum. “Yasudah, kalau begitu ikut saya kerumah.”
Aku sedikit terpana melihat senyumnya kali ini. Baru kusadari bahwa pria ini manis juga kalau lagi senyum. Kemudian, lamunanku langsung kubuyarkan agar pria itu tidak curiga terhadapku.
Setelah melangkah sedikit jauh, akhirnya aku sampai di rumahnya yang mungil. Kemudian aku dipersilahkan masuk dan duduk di sebuah kursi tamunya. Langsung saja ia mengeluarkan banyak origami dari bungkusan plastik yang mungkin tadi dibelinya di toko buku.
“Nah, kamu kan mau membantu pekerjaan saya, kan? Tolong bantu saya melipat origami menjadi bentuk hati, ya. Seperti ini.” Ia memberikan contoh setumpuk origami hati kepadaku.
Aku sedikit bingung dengan pria ini, untuk apa origami hati sebanyak ini. “Untuk apa ini?”
“Saya ingin menaruhnya di kuburan mantan pacar saya.”
“Kenapa harus ditaruh di sana?”
Pria itu kembali tersenyum, “sebelum ia meninggal, kami suka melipat origami menjadi bentuk hati. Rasanya ada kesenangan tersendiri saat merubah origami itu menjadi bentuk hati.”
Sekarang pria itu sibuk dengan lipatan-lipatan origaminya. Kucoba untuk mencontoh cara melipatnya agar  origamiku menjadi bentuk hati.
“Sepertinya sebentar lagi sudah siap. Apa sore ini kamu mau menemaniku untuk menaburkan origami hati ini di kuburannya?”
Aku langsung mengangguk menerima tawaran pria itu. Kemudian, kulontarkan satu pertanyaan, “setiap berapa bulan sekali Mas menabur origami hati ini?”
“Setiap seminggu sekali. Terkadang kalau hujan, origaminya jadi basah. Jadi, seminggu sekali haruslah diganti supaya kelihatan cantik.”
“Apa Mas tidak lelah?” tanyaku prihatin melihat pria ini melakukan hal yang tidak wajar.
Pria itu menatapku, kemudian ia tersenyum kembali. “Mungkin karena kamu belum mengalami apa yang namanya pengorbanan untuk bercinta. Percayalah, seberapa beratnya kamu berkorban untuk orang yang kamu cintai, itu tidak akan pernah membebanimu dan kau tidak akan pernah merasa lelah.”
Aku begitu takjub melihat pria ini. Begitu setia dan berkorban untuk orang yang dicintainya. Dari insiden ini aku bisa memetik suatu pelajaran, bahwa cinta butuh pengorbanan yang luar biasa.

12 komentar:

  1. ah, kasian. si mas-masnya gagal move on tuh ampe segitunya pengorbanan buat mantannya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih kasian Mbak-Mbaknya dong. Baru aja dompetnya dikasi makan, eh harus hilang pulak tuh. :)

      Hapus
  2. Waahhh... keren. Ini deepen yah, kakak melihatnya kayak ada dua ide cerita yah, dompet sama mas-mas yang gagal move on. Hehehe, cerpen bisa gitu yah?

    BalasHapus
  3. Aku gak ngerti kalo disuruh nilai, tp yg pasti aku suka ceritanya... bagus ! Go Nikmal !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Syukur deh kalau Mbak Molly suka sama ceritanya..

      Go! Go! Go!

      Hapus
  4. Setuju sama kk rin :)
    Lagian ini pasti udah di ujicoba di itb dan ipb :*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Postingnya aja baru kemarin, eh udah dua institut aja yang nguji ya bang. :)

      Hapus
  5. wah,yang gini ini nih om ikmal,bisa di jadi'in cerita buat FTV2,pasti keren dah,.,.,
    :D

    BalasHapus
  6. Sebegitu tuakah diriku sampai-sampai dipanggil om? ;(

    Makasih udah mau baca, semoga terhibur. :)

    BalasHapus