Terdengar krincingan bunyi lonceng ketika pintu La Risa terbuka. Begitu sederhana, tapi tetap merdu dan tidak mengganggu suasana heningnya malam. Tapi sayang, lonceng itu tidak menandakan kedatangannya.
La Risa memang berada di pinggir jalan, tapi masih bisa memeluk suasana hening karena tempatnya yang tertutup. Mau kau datang pada kapan pun, pasti suasana La Risa selalu seperti itu. Begitu tenang.
Misalnya, seperti Sabtu malam ini, saat Sindai mengajakku untuk mengobrol dan dia menentukan tempatnya di La Risa. Sindai bilang, dia ingin berbicara denganku dalam suasana hening. Entah apa maksudnya memilih suasana hening.
Tapi aku sudah bosan menunggu. Memang aku tidak sendirian menunggu Sindai, aku ditemani oleh dua gelas kopi Arabica yang sudah habis kutegak. Hanya untuk mengantisipasi agar aku tidak mengantuk, sebab tadi aku baru selesai menyelesaikan proyekku.
Sindai belum juga datang. Katanya aku harus datang jam tujuh malam. Tapi, sudah satu jam ini dia tidak datang juga. Dan kini, rasanya bunyi krincingan lonceng itu sudah tidak terdengar merdu lagi. Mungkin, karena aku sudah bosan menaruh harapan bahwa yang datang itu Sindai.
Sudah jam delapan malam, dan aku tidak mau menghabiskan Sabtu Malam ini di La Risa sendirian. Lebih baik aku meminta bill lalu pergi pulang.
Atau aku pergi ke Warnet saja sambil bermain beberapa game online yang dulu sempat kumainkan?
Yang jelas, kemana pun aku akan pergi, aku harus membayar bill dahulu sebelum keluar dari La Risa. Maka dari itu, setelah pelayan mengantar bill dan membayarnya, aku pun segera beranjak dari kursiku.
Namun, sepertinya daya tarik La Risa sangat kuat menahanku untuk lebih lama lagi di sini.
Saat ingin keluar dari La Risa, tiba-tiba saja ada pelayan yang menabrakku. Memang pelayan tersebut dalam keadaan kosong tangan, tapi bisa menghambatku untuk pergi karena kesekian detiknya Sindai membuka pintu dan berkrincinganlah lonceng La Risa.
Urusan dengan pelayan sudah selesai. Kini urusan dengan Sindai yang sebenarnya sudah sangat basi karena diundur selama satu jam.
“Maaf aku telat. Tolong duduk sebentar dulu, ada yang ingin aku sampaikan.” Sindai pasti tahu kalau aku ingin pergi. Tapi sayang, Sindai tidak mengerti kalau aku sudah malas berbicara dengannya.
Kemudian, aku langsung duduk di bangku dekat jendela. Sebab itu adalah bangku yang sangat dekat dengan pintu dan posisi berdiriku tadi. Sindai pun duduk dihadapanku setelah ia selesai berbicara dengan pelayan yang menabrakku tadi. Mungkin dia memesan minuman.
“Dengar!” Sindai langsung memulai obrolan, “Aku masih cinta sama Reksy. Sungguh, aku gak bisa move on.”
Oh tolonglah, apa harus dia mengadu lagi tentang ini. Rasanya telingaku sudah sangat bosan mendengar cerita cinta basinya. Kenapa Sindai selalu memintaku untuk mendengar omongannya yang tidak penting? Dan juga membosankan.
Kalau begini aku hanya bisa memandangi Sindai. Begitu juga dengan Sindai yang memandangiku, mungkin dia memintaku untuk merespon. Paling tidak sekedar menghibur dirinya dengan ucapan-ucapan yang bagiku hanya ucapan sampah.
Seperti suasana La Risa yang begitu hening, begitu juga suasana di antara kami. Bahkan saat pelayan mengantarkan pesanan Sindai pun juga dalam diam. Hanya asap-asap dari Americano pesanan Sindai saja yang mengepul di antara kami.
Sindai menyeruput Americano-nya. Mungkin, dengan Americano-nya ia bisa kembali memintal kata untuk obrolan. “Jadi, menurutmu, aku harus bagaimana?”
Ok, kalau Sindai bisa memintal kata, kenapa aku tidak bisa merajut kata agar obrolan lebih berkesan manis? Setidaknya menjadi lebih enak didengar oleh Sindai. Kemudian, aku berpikir sejenak, lalu mengutarakannya kepada Sindai. “Ya menurut aku sih, kalau kejadiannya udah begini, coba kamu perjuangkan saja. Tahu sendirilah kamu, kalau cinta itu butuh diperjuangkan.”
Ha! Itu dia. Terkadang Sindai butuh dengan ucapan-ucapan sampah semacam itu yang terkadanga aku geli untuk mengucapkannya. Tapi, aku tetap bingung dengan Sindai. Ia masih saja tidak bahagia atau merasakan apalah dengan perkataanku. Ia selalu menyangkal perkataanku.
Sindai menggeleng, “Sepertinya tidak mungkin Reksy menjadi milikku. Aku sudah lelah berjuang untuk dirinya.”
Sekarang, suasana menjadi sangat hening. Apalagi, pengunjung La Risa semakin sepi. Dan Sindai terbawa suasana. Ia sudah membuat aliran tangis di pipi tembamnya. Sungguh, ini seperti menonton film dengan genre yang tidak kusukai. Begitu cengeng. Tidak jelas. Dan berlebihan. Hal inilah yang membuatku semakin bosan, juga bingung.
Lagi-lagi, kejadian ala film cengeng itu dipraktikkan lagi oleh Sindai. Sekarang, ia menyeka air matanya. Berusaha tegar. Mungkin juga bisa dibilang sebuah keikhlasan.
“Aku benar-benar gak bisa melupakannya. Tapi mungkin, aku bisa melepasnya. Bagaimana menurumu?”
Apa? Menurutku? Oh, bagaimana ya? Pikirkan! Pikirkan ucapan-ucapan yang mendukung dirinya untuk melupakan Reksy.
Aha! Aku dapat kata-kata yang bisa menyemangatinya.
“Ya, kamu benar. Lagian kamu harus bisa melepasnya untuk orang lain. Walau kamu tidak bisa melupakannya. Tapi, percayalah kalau kamu pasti bisa melupakannya. Ini semua karena waktu yang tidak mau mengalah. Suatu saat nanti, saat waktu lelah untuk melihatmu menangis karena dia, maka waktu akan mengalah untuk menghapus memorimu.”
Berhasil! Sindai akhirnya tersenyum juga dengan perkataanku. Setidaknya aku bisa membahagiakan dirinya lagi. Kemudian, ia berterima kasih kepadaku dan menghabiskan Americano-nya sebagai penyemangat Sabtu malam ini.
Dan setelah Sabtu malam ini, semuanya kembali seperti yang kuharapkan. Dan aku tidak terhantui oleh Sindai yang mengadu kisah cintanya kepada Reksy yang tidak siap-siap. Pikiranku juga bisa tenang karena tidak memikirkan ucapan-ucapan yang sebenarnya berat untuk kuucapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar