Diaphanous Cafe

Diaphanous Cafe
persimpangan Jalan Malioboro dan Jalan Perwakilan

Sekali lagi, kubaca tulisan yang ada di loteng Cafe itu. Apa maksudnya? Aku baru saja berbelok dari Jalan Perwakilan untuk menuju ke Jalan Malioboro. Menghabiskan Sabtu Malam di Malioboro rasanya asyik juga.

Aku memilih untuk memasuki ruangan Cafe. Seperti pada Cafe biasanya, bel langsung berkerincingan. Mataku langsung membesar begitu melihat suasana Cafe. Hanya terdiri dari lilin-lilin hijau yang menerangi Cafe itu.

Cafe yang aneh.

KEEP CALM AND BE DIAPHANOUS

Kubaca sebuah poster Keep Calm  yang tergantung di Cafe itu. Hanya diterangi oleh lilin yang digantung dengan tali yang entah apa jenisnya. Aku terus bepikir, sambil membuka kamus vocabulary yang aku punya di otakku. Ah, apa artinya? 

Tanpa berpikir panjang lagi, aku merogoh kantong celana jeans biru dongkerku yang lumayan ketat. Kutarik secara paksa smartphone yang selalu menemaniku. Kubuka Pocket Dictionary yang selalu kuandalkan jika aku tidak tahu arti dari kata-kata Inggris.

"Kau membuat suasana Cafe menjadi hancur."
  
Aku terkejut bukan main. Ternyata seorang lelaki yang berbicara kepadaku. Aku baru tahu kalau ia lelaki ketika lampu layar smartphone-ku berhasil menyenteri wajahnya. 

"Matikan handphone-mu." Lelaki itu masih memarahiku lagi.

Aku mengerutkan dahiku. "Kenapa, sih? Kamu sewot banget!"

"Kamu tahu nggak, dengan lampu handphone kamu hidup terus, kamu sudah merusak suasana keheningan. Hening. Itulah konsep Diaphanous Cafe!"

Aku melengkungkan bibirku ke bawah. Kemudian aku hendak mengunci smartphone-ku, berharap lampunya akan mati secepat mungkin. Tapi, sebelum itu, aku melihat hasil searching-ku di Pocket Dictionary.


Hening

Kata itu yang tertera di smartphone-ku. Oh, jadinya begini.

"Makasih sudah mau matikan handphone kamu. Oh iya, udah di-silent atau mungkin bisa dimatikan sekalian dulu. Biar tidak memunculkan ringtone-nya ketika ada yang menelfon."  

"Handphone-ku memang selalu kubuat silent mode." Aku merespon lelaki itu dengan ketus.

"Oh, begitu. Kenalin, aku Dean, pemilik Cafe ini. Gimana karena kamu mau mematikan handphone-mu, kamu aku kasi bangku di tengah, terus aku traktir deh kamu." Lelaki itu memperkenalkan diri, ditambah dengan tawaran yang manis. Kening Dean tampak berkerut dan bibirnya tersenyum di antara cahaya yang remang-remang.

"Tawaran yang bagus. Aku setuju."

Kami pun akhirnya menuju ke kursi tengah. Kami menyusuri ruangan Cafe yang tampak hening dan romantis karena lilin-lilin hijau yang menerangi di setiap mejanya. Benar-benar suasana yang tidak begitu biasa.

"Mulai sekarang, aku minta untuk kamu berbicaranya berbisik." Dean berbisik kepadaku saat kami sudah sampai di bangku yang dimaksud.

Aku balas dengan berbisik juga, "Kenapa harus berbisik?"

"Diaphanous Cafe. Aku beri nama itu sesuai dengan konsepku. Artinya Cafe yang hening. Di sini semuanya mesti hening. Dan suasananya pun harus hening." Dean menjawab sambil menjelaskan kepadaku.

"Konsep yang bagus." Aku berkomentar seperti itu.

Kemudian ada seseorang yang berbisik. Aku tidak melihatnya pasti karena tidak adanya penyinaran yang begitu terang di Cafe itu. "Permisi, mau pesan apa?" Oh, ternyata ada seorang pelayan yang berbicara kepada kami.

Ada menu yang kamu rekomendasikan, nggak?" Kembali aku berbisik kepada Dean.

Dean menyuruh pelayannya menunduk, kemudian ia berbisik kepada pelayan itu.

"Heh! Kamu pesenin apa sih?" Aku keceplosan berteriak.

"Jangan berteriak!" Bisik Dean, dia melototiku. "Kamu sudah berapa kali coba merusaki suasana Cafe ini. Tolong kamu baca poster di saat pintu masuk tadi."

"Iya-iya. Ngomong-ngomong, kamu dapet inspirasi dari mana bisa buat Cafe dengan ide secemerlang ini?" tanyaku dan pastinya sambil berbisik.

"Masalah dapet inspirasi sih paling tidak diduga-duga juga." Dean menarik nafas. "Waktu itu benar-benar pengen banget keheningan. Gak ada yang ganggu, termasuk cahaya-cahaya yang tidak diperlukan juga."

"Itu alasannya kamu memakai lilin. Terus kenapa harus lilin hijau?"

"Ehm," Dean membenarkan pita suaranya. "Ngomongin soal warna sih memang gak terlalu dominan juga. Tetapi, bagiku dan kebanyakan orang itu warna hijau penuh kedamaian. Setiap keheningan perlu kedamaian."

"Oooh, begitu." Aku mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong kok bisa jadi keheningan begini sih temanya. Aku belum bisa ngeh sama penjelasan kamu tadi."

"Ok, aku akan cerita. Waktu itu, aku pengen banget sendirian dan damai. Tapi..."

"Maaf mengganggu. Pesanannya sudah dateng."

Dasar pelayan. Pengganggu!

Pelayan pun pergi setelah memberi makanan yang belum terlihat wujudnya. Lilin hijau ditengah meja hanya mampu menyinari wajah kami satu sama lain. "Tapi apanya, De?" Aku meminta Dean melanjutkan ceritanya.
"Tapi, waktu itu aku benar-benar tidak punya tempat untuk itu semua. Hanya satu tempat yang bisa membuatku hening, yaitu kamarku. Itupun aku harus melapisi dinding kamarku dulu dengan peredam suara."

"Lebay! Sampai segitunya, sih? Emangnya kamu kenapa kok butuh banget tempat hening."

"Permasalahan sepele, sih. Tapi, sangat menyakitkan bagiku. Cuman putus cinta aja. Yah, tapi..."

"Apa kamu bilang?" Aku memotong pembicaraan Dean. "Cuman putus cinta? Hello, kamu pikir aku tidak pernah apa putus cinta? Itu satu penyakit yang akut."

"Jangan menceramahi!"

"Siapa yang menceramahi?"

"Entahlaya. Yang jelas, aku kepikiran ingin buat sebuah Cafe hening di tengah riuknya kota. Persimpangan Malioboro dan Perwakilan cukup ramai. Tapi, aku harus benar-benar membuat Cafe ini hening. Dan pada akhirnya, inilah Diaphanous Cafe. Mungkin salah satu Cafe yang dilengkapi peredam suara."

Aku menepuk satu jari. "Amazing!"

"Kenapa nepuknya cuma satu jari?"
"Kalau lima jari nanti bising." Aku menjulurkan lidahku. "Nanti jadi gak hening lagi."

Kami pun akhirnya menghabiskan menu kami: Cumi Tinta Hitam. Sangat enak, sesuai dengan temanya yang hening, hitam, dan kelam. Dan pada akhirnya malam semakin larut dan mengharuskanku untuk pulang.

Aku langsung pamit kepada Dean. "Aku pulang dulu ya." 

"Boleh. Eh, ngomong-ngomong kamu belum kenalin siapa nama kamu?"

"Oh iya lupa! Aku Zena. Salam kenal dan makasih atas traktirannya ya." Aku memberikan senyuman sebelum pergi.

"Next saturday night, kemari lagi ya!"

Dan aku hanya membalas dengan senyuman. Malam minggu ini, benar-benar malam yang sempurna. Malam yang penuh kejutan, dan tidak merugikan.

Ternyata, dibalik putus cinta bisa mendatangkan ide yang briliant.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar