Selalu ada
kenangan yang pahit dalam hidup. Jangan bohong! Kau pasti memiliki kenangan
pahit itu. Ya kita gak pernah tahu kapan itu bakalan terjadi, datang dan
kembali terulang.
Kududuki bangku
putih yang telah disediakan di pinggiran kapal feri. Jaket selutut dan penutup
kepala setelinga sudah aku pakai sejak keluar dari hotel tadi. Cuaca di Selat
Bosphorus—khususnya di Istanbul—memang sedang dingin. Aku sempat membeli penutup kepala setelinga dan sarung
tangan yang sangat tebal.
Dimana
kau sekarang?
Aku
masih bertanya-tanya. Sejak keberangkatanku dari Indonesia semalam, aku hanya
beristirahat di hotel. Sungguh sekarang terbayar semua jika kulanjutkan
perjalanan ini untuk mencarimu. Perjalanan ini, kapal feri yang sedang melintasi
selat Bosphorus, dan liburan awal tahun lalu.
Sangat
tercengang dengan paparan pulau buatan di tengah selat ini. Masih saja diriku
menatap seisi restoran milik Galatasaray Football Club. Tampak olehku bangku
dan meja makan yang klasik karena jendelanya yang ditutupi kaca. Dan saat ini,
aku masih mengenang.
* * *
Badanku
benar-benar hangat saat turun dari kapal feri tadi. Sebelum turun, aku memang
memesan teh seharga 3 Lira. Mahal banget! Harus menghabiskan 15.000 rupiah
demi segelas teh untuk menghangatkan badanku!
Pedestrian
Istanbul yang begitu minimalis dan ramai belum bisa membuyarkan lamunanku. Dari
tadi aku hanya bisa melamun. Duduk di bangku kayu dengan menatap batako yang
disusun rapi menyerupai pola-pola bulat abstrak. Rasanya aku seperti
terhipnotis oleh susunan pola itu.
“Are you ok?”
Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku. Buyar semua lamunanku. Kulihat lelaki yang duduk
di sampingku. Memang dari tadi bangku kayu panjang ini hanya diriku sendiri
yang duduki. Ah, betapa egoisnya aku tidak mau berbagi.
Kepalaku refleks
anguk-angguk tanda menjawab pertanyaan
lelaki itu.
“You’re from
Indonesia, aren’t you?”
Tunggu dulu! Kalau
dilihat-lihat lelaki itu... Yaps! Dia orang Indonesia juga.
“Iya, saya orang
Indonesia. Kamu juga kan?” Aku kembali bertanya.
“Yaiyalah, Bro.
Aku Zai. Kamu siapa?” tanya lelaki itu. Dasar tidak sopan. Dia tidak
mengulurkan tangannya. Siapa orang tuanya yang tidak pernah mengajarkan dirinya
untuk mengulurkan tangannya saat berkenalan?
“Ooh, nama kamu
Zai. Aku Andrew.” Aku malas menatap Zai yang tidak sopan denganku. Mataku lebih
memilih untuk menatap batako yang berpola bulat tidak jelas begitu.
Suasanya kembali
diam. Hanya suara riuh yang ada di sekitar jalanan. Itu pun tidak begitu riuh
sekali karena suara mesin kendaraan Istanbul sangat ramah. Zai berdiri. Kurasa
ia sudah bosan denganku dan akan pergi karena aku yang sedari tadi tak acuh
dengan dirinya.
“Beli roti yuk,
Drew. Laper nih.” Kutatap Zai. Ternyata dugaanku salah. Ini anak baru kenal
udah sok akrab banget sih! Tapi gak papa, apa salahnya sih mengiyakan
tawarannya. Toh, sekalian jalan-jalan di pedestrian Istanbul.
Kami mengitari pedestrian menuju pedagang roti khas Turki. Ada juga
pedagang yang sangat menarik minatku. Setumpuk jagung rebus dengan asap yang
mengepul ke udara membuatku ingin menikmatinya.
Aku menepuk bahu
Zai. “Zai, kamu pergi saja dulu ke tempat rotinya. Aku pengen beli jagung
rebusnya. Jagungnya enak kan?”
“Oooh, gitu. Emm,
yaudah aku ke pedagang roti di sana ya, Drew. Yang rotinya bertumpuk di atas
keranjang sepeda yang dinaikinya itu. Di sana rotinya enak banget. Udah menjadi
langgananku. Masalah jagung rebusnya enak, kok. Jagungnya manis-manis.”
Duh, kembali
teringat saat tumpukan roti yang menggiyurkan. Ya, saat itu. Liburan awal tahun
lalu.
* * *
Mencari orang
Indonesia di Istanbul itu seperti mencari kutu di bulu domba. Asal kemana kita
pergi hanya ada nampak satu variasi. Kulit putih, hidung mancung, tinggi
rata-rata, dan perawakan yang sempurna.
Tapi, ternyata
kutu itu ketemu secara tidak sengaja. Saat aku hendak menyebrang ke Bursa[1]
dengan tujuan melihat banyak
peninggalan berharga dari kekhalifahan Turki Ustmani, aku sempat disarankan
membeli roti dulu oleh receptionist hotelnya. Memang, sebelum
meninggalkan hotel tadi, aku sempat menanyakan seputar Bursa kepada receptionist-nya.
Tujuannya satu. Agar burung camar nanti mau datang kepada kita.
Jadi,
aku sempatkan untuk membeli roti. Tapi, tahu gak apa yang aku temukan. Wanita
berhijab, kulit kuning langsa, asal senyum pasti terbentuk lesung pipitnya. Ah,
dia wanita Indonesia!
“Kamu
orang Indonesia, kan?” tanyaku yang langsung memakai Bahasa Indonesia.
“Hahaha,
iya. Untuk kamu rotinya gratis, deh,” jawab wanita itu.
“Nama
kamu siapa?” Aku lanjut bertanya.
“Sinta.”
Wanita itupun memberiku bungkusan roti.
“Aku
Andrew. Oh ya, boleh temenin aku ke Bursa, gak? Aku bayar deh kamu jadi tour
guide-ku.” Dengan ekspresi permohonan yang meyakinkan aku tujukan kepada
Sinta.
Sinta
mengangguk. Akhirnya ia menitipkan gerobaknya kepada pemilik cafe yang sudah ia
kenal.
Singkat
cerita, kami sudah sampai di atas kapal feri untuk menyeberang ke Bursa. Aku
terkesima dengan camar yang dominan putih warnanya itu.
“Coba
lemparkan potongan-potongan rotinya ke udara. Biar burungnya pada datang
semua.” Sinta menyuruhku.
Kucoba untuk melemparkan
potongan-potongan rotinya ke udara. Seakan burung-burung camar datang
berkerumunan.
Sinta
tertawa lepas melihat ekspresi takjubku melihat burung camar. “Hahaha, Oh iya.
Aku sama tunanganku sering loh beginian. Kadang tiap weekend kami
jalan-jalan ke Bursa.”
“Tunangan?
Kamu punya tunangan?” tanyaku lagi.
“Iya,
tunangan. Namanya Diki. Orang Indonesia juga. Tamat dia kuliah nanti kami
bakalan married di Indonesia.” Sinta berbicara sambil tersenyum melihat
burung camar berterbangan.
“Oh,
longlast deh buat kalian.” Aku memaksakan diriku untuk tersenyum.
Burung
camar masih saja berterbangan. Kali ini mereka sudah mengerumuni beberapa orang
yang memberikan potongan roti juga.
Tapi,
pernahkah Sinta tahu? Kalau ia sudah membuat luka dihatiku? Mungkin jawabannya
tidak. Aku memperhatikan camar yang berhenti terbang di tengah laut dan memilih
mengapung seperti bebek. Dan apa aku harus begitu? Hanya diam mengapung demi
kebahagiaan orang lain? Tapi, tetap saja itu meninggalkan luka
* * *
Setelah
membeli jagung rebus, aku langsung menyusul Zai. Mungkin kalian sudah tahu
dengan cerita selanjutnya. Aku memang menemukan pedagang roti tahun lalu.
Pedagang roti yang bernama Sinta, yang membuatku harus pergi ke Istanbul untuk
menemui dirinya.
“Andrew!”
Sinta yang menyapaku duluan.
“Eh,
Sinta. Apa kabar, Sin? Laris gak rotinya?” tanyaku lagi.
“Baik.
Rotinya juga laris, kok. Eh, aku udah married sama Diki loh! Mungkin,
berkat doa kamu yang bilang longlast buat kami.” Sinta tersenyum berkata
seperti itu.
Aku
memaksakan diri untuk tersenyum. Zai masih bingung melihat kami berdua.
Sinta,
kamu memang jahat. Kamu apa tidak pernah tahu sejak pertemuan pertama kita dulu
aku sudah jatuh cinta padamu? Saat kau bilang kau sudah bertunang di kapal
feri, saat burung camar berkerumunan di antara kita. Ah, Sinta. Kau benar-benar
jahat. Seakan, kau buat kenangan pahit itu kembali datang. Tapi tak apa, itu
mungkin sudah takdirku untuk menerima kenangan dan luka ini.
Oh
ya, Sin. Semoga kau bahagia bersama Diki—orang yang sama sekali belum pernah
aku temui dan hanya kukenal sebatas nama dan suamimu.
Jadi terinspirasi dan menghibur juga!!
BalasHapusAlhamdulillah kalau bisa menginspirasi sekaligus menghibur :)
Hapus