Menghidupi Mereka Bertujuh



  
          Jika aku harus mengisi perutku dengan uang yang haram, dan kalau Tuhan menginginkan itu, maka jawabannya aku bersedia. Mungkin karena anak jalanan itu, dan orang tuanya yang tidak mau menghidupi mereka,maka aku ikhlas menjadi single parent bagi mereka bertujuh

            “Kak, sebentar lagi bulan April, uang SPP bulan ini belum kakak bayar.” Aku masih ingat sekali perkataan Mirnah, anak jalanan yang aku asuh, yang sekarang sudah SMP. Bukannya aku lupa kepada SPP dia, melainkan aku tidak punya uang. Siapa bilang aku lupa? Justru setiap malam aku berfikir bagaimana harus menyelesaikan SPP Mirnah, sampai sekarang, di tengah luasnya lapangan hijau ini.

            “Kak, Riko mulai UASBN bulan Mei nanti, jika uang SPP tidak di selesaikan sampai bulan Mei, Riko tidak diberi ujian sama pihak sekolah. Kalau Riko tidak ujian, pastinya Riko tidak akan lulus!” Aku juga masih teringat kata anak asuhku yang sudah SD kelas VI. Tahun ini ia akan lulus dari SD-nya. Lagi-lagi di bebankan oleh uang SPP-nya.

            “Sudahlah kak, aku dan Tantri bagusan pergi. Aku sudah gak enak dengan kakak. Aku ini sudah besar, harusnya aku sudah bisa menghidupi diriku sendiri, dengan adikku Tantri,” kata Beni kepadaku tadi. Aku sudah tidak kuat mengasuh mereka bertujuh. Mulai dari Beni, yang sudah kuputus sekolahkan SMA-nya. Padahal beberapa bulan lagi ia akan mengikuti UN, dan akan tamat juga. Lisa, yang baru masuk SMA, sudah kuputuskan juga sekolahnya. Cilo yang tak kusekolahkan sampai sekarang, yang katanya ia tak mau menyusahkanku, seharusnya ia sudah sebaya Mirnah. Tantri, adiknya Beni yang masih kelas III SD, baru saja kuputuskan sekolahnya tiga bulan yang lalu. Dan terakhir, Leo yang seharusnya sudah kelas I SD, sampai sekarang nasibnya sama seperti Cilo.

            Malam itu, aku mau terus terang dengan mereka semua. Aku sudah tidak tahan lagi mengurusi mereka seorang diri.

            “Kakak nyerah. Kalian bertujuh, mulai dari Beni, Lisa, Cilo, Mirnah, Tantri, Riko, dan Leo. Kakak sudah tidak bisa menghidupi kalian lagi. Sungguh, kakak tidak bisa. Mirnah, Riko, hanya kalian yang sampai sekarang masih bisa bersekolah. Dengan berat hati terpaksa kalian harus putus sekolah. Buat Beni dan Tantri, jika kalian ingin meninggalkan kami, pergilah,” kataku begitu. Sedih. Gundah. Gulana.

***

            Beni dan Tantri pergi. Riko juga ingin ikut mereka berdua. Tinggallah aku, Lisa, Cilo, Mirnah, dan Leo di gubuh reok yang tak layak di huni. Hanya lima orang. Hening. Kembali memikirkan jalan keluar untuk bertahan hidup.

            “Kalau begini, Lisa nanti malam kerja sajalah kak,” kata Lisa kepadaku.

            “Hah? Nanti malam? Kerja? Emang kamu kerja apa malam-malam,” tanyaku begitu.

            “Sudahlah kak, kakak tenang saja, mudah-mudahan Lisa mendapat uang yang banyak,” jawab Lisa begitu.

            Aku semakin penasaran. Aku punya rencana. Malamnya kuikuti kemana Lisa akan bekerja.

            Setelah keluar dari gubuk reok kami, Lisa sudah kelihatan sangat rapi. Dikenakannnya pakaian yang paling bagus. Bukan miliknya, dan juga bukan milikku, melainkan punya Mirnah yang pernah ia dapat di jalan. Ia terus berjalan, dan terus berjalan. Hingga akhirnya ia beronggok di sebelah lampu jalan yang menyinari jalan.

            Aku semakin penasaran. Apa yang ditunggunya. Hingga sebuah mobil mendekatinya dan seorang pria berjas turun menghampirinya.

            “Nunggu apa?” tanya pria berjas itu.

            “Menunggu pelanggan, Mas.” Jawab Lisa begitu santai. Aku masih tidak mengerti apa yang dikatakan Lisa.

            “Purel baru yah?” tanya pria berjas itu.

            “Iya,” jawab Lisa. Astaga! Ternyata itu pekerjaannya. Aku semakin tidak percaya terhadap pekerjaan Lisa yang baru. Dasar wanita murahan!

            Aku langsung mengemasi barang-barang milik Lisa sesampai di rumah. Paginya, ia sudah kubentak-bentak ketika sampai di depan gubuk reok kami.

            “Pergi kau sana! Kau sudah mencari nafkah dengan haram. Tadi malam, perawan itu sudah pecah!” bentakku kepada Lisa.

            “Ooooh jadi kakak sudah tahu pekerjaanku. Aku tahu juga itu tidak halal. Melainkan itu haram. Aku tidak mau mati, kak. Dan jika kakak mengusirku, aku akan pergi. Tapi, sebelum aku pergi, aku ingin menjelaskan kepada kakak, bahwa yang membuatku berdosa itu adalah kakak. Aku terinspirasi dari kakak, yaitu seorang penjambret. Tapi seorang penjambret butuh kerja extra, apalagi jika ketahuan, harus berlari-lari. Dan aku mengambil jalan pintas, hanya berperang di dalam ranjang, menjadi seorang purel. Ingat itu baik-baik, kak!” Lisa membentakku dan langsung pergi. Ternyata, mungkin ia pernah memergokiku saat aku sedang menjambret. Karena menghidupi mereka juga. Dan sekarang hanya tinggal aku, Cilo, Mirnah, dan Leo di gubuk reok kami.

***

            Na’as! Cilo digebuki warga dan ia masuk penjara. Ya Tuhan, ternyata ia penjambret juga. Kali ini, apakah ia juga terinspirasi dariku? Belum lagi si Mirnah minta pergi dari gubuk reok kami. Ternyata Mirnah juga seorang purel. Itu karena ajakan Lisa. Dan Lisa juga yang menhasut Mirnah untuk pergi. Sudahlah… aku terima saja.

            Dan sekarang, setelah kejadian itu, ternyata Leo juga harus pergi. Entah takdir apa yang diberikan Tuhan, sehingga memikat bapak-bapak kaya itu ke gubuk kami untuk mengadopsi Leo. Sudahlah tinggal aku yang ada di gubuk reok ini. Setelah aku berpengalaman menghidupi mereka bertujuh. Dan aku harus mencari pekerjaan yang halal, untuk diriku sendiri. Tuhan, maafkan aku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar