“Tahajjud dulu
yuk! Aku tak mau tahajjudmu bolong karena malam zafaf ini. Mandi wajib sana
gih! Tahanlah dinginnya air malam ini, atau tidak apakah aku harus menelfon ke
receptionist bahwa air panasnya tidak berfungsi? Bangun Gan, sepertiga malam
sudah mau habis karena shubuh sudah cemburu melihat kita di sini!”
Perkataannya masih saja aku ingat saat di hotel mewah di Istanbul,
Turki. Aku ingat itu saat bersamanya. Dan di saat itu, entah bagaimana itu bisa
terjadi. Seakan ajaran sunnah Rasul sudah melekat betul di benaknya. Dia
sebenarnya orang Indonesia, sama sepertiku. Tapi Istanbul memang indah, bukan
karena keindahan tata kotanya, melainkan Istanbul-lah yang membuat diriku
bertemnu dengannya.
***
“Migan akan
menelfon Ummu1 kalau sudah sampain di Turki. Tolong ikhlaskan
kepergian Migan ke Turki. Lagi pula, Migan ke Turki untuk mencari pendidikan. Insya
Allah lebaran nanti Migan kan pulang. Ummu tidak usah
khawatir, Migan di sana kan dapat beasiswa, jadi hidup Migan di sana
sudah tenang. Abi2, doakan Migan yah, semoga Migan di Turki
sukses, sehat selalu, dan sebagainya. Udah ya Ummu, Abi, abang Sueta,
Migan pergi dulu,” kataku begitu.
“Abi ikhlaskan
kamu, nak. Belajar yang bagus yah di Turki. Doakan Abi, Ummu, sama bang Sueta
juga.”
“Bener tuh Gan!
Jangan cengeng kamu yah di Turki. Kalau kamu cengeng, pulang ke Indonesia aku
pukuli kamu!” kata bang Sueta begitu tegas juga denganku. Aku sedari tadi mengangguk
saja.
Ummu belum
ada mengeluarkan kata-katanya. Ia hanya mengalirkan air matanya yang bermuara
ke pipi keriputnya. Saatnya aku harus pergi. Inilah kata terakhirku.
“Aku pergi
Ummu, Abi, bang Sueta. Jika aku kembali ke Indonesia dengan keadaan yang
sedikit berbeda, terimalah. Ikhlaskan juga kedatangan sosok itu nanti, karna
takdir siapa pun tidak tahu, sekalipun aku juga tidak!”
***
Aku sudah sampai
di Turki. Dari bandara, aku sudah mendapati guide-ku yang sudah
dijanjikan sebelumnya dengan fasilitas beasiswaku. Rombongan yang mendapati
beasiswa ke Turki hanya lima orang, dan lima orang beruntung itu salah satunya
aku.
“Selamat datang di
Turki, Dwi Mulyasari, Pinja Reyan Seraya, Roy Zylian, Muhammad Migan
Syarifputra, dan Margareth Terenia. Saya sebagai guide kalian sekarang.
Kalian pastinya lelah melewatkan perjalanan berjam-jam di pesawat. Kalau
begitu, kita langsung menuju flat3 kalian masing-masing yuk!”
ajak guide itu kepada kami berlima. Aku baru mengetahui nama lengkap mereka
berempat dari guide itu. Sebuah perkenalan yang sangat sedikit.
***
“Assalamu’alaikum Ummu.
Migan sudah sampai di Turki. Ini sim card Migan sekarang selama di
Turki,” kataku setelah sampai di flat pribadiku. Kami berlima mendapat
satu flat untuk satu orang. Di flat itu juga berisi ruangan yang
luas. Sangat nyaman dari kamar tidurku di Indonesia.
Aku asyik
mengabarkan kabarku dengan Ummu, hingga akhirnya terputus karena
pulsanya sudah habis. Sial! Pasti sangat mahal. Padahal aku sudah mengisi
pulsanya banyak tadi.
Aku melepaskan
jaket yang kukenakan tadi. Kukeluarkan barang-barangku dari koper. Kutata rapi
juga pakaianku di lemari yang sudah tersedia. Aku benar-benar sibuk, sampai
akhirnya malam pun menyergap begitu cepat.
***
Makan malam
pertama di Turki, tepatnya di Istanbul sangat indah. Di restaurant ini,
aku tidak menemukan makan malamku yang biasa, yaitu nasi. Sangat tidak rasio
bila ada nasi di Istanbul. Mungkin ada, tapi jarang.
“So guys!
Saatnya kalian semua berkenalan. Kalian berlima sekarang seperti saudara dari
Indonesia, meskipun kalian berasal dari pulau yang berbeda, dan agama kalian
berbeda juga dengan Margareth,” kata guide kami begitu.
”Oh ya pak, aku
dan Reyan sudah berkenalan tadi di pesawat. Jadi, aku tinggal kenalan sama
cowok itu, dan cewek yang berjilbab, dan yang pastinya yang bapak bilang yang
namanya Margareth,” timpal Roy seketika.
Reyan dan Roy
mendekatiku.
“Hai orang yang
beruntung sekarang. Bolehkah kau menyebutkan namamu,” kata Reyan begitu.
Logatnya seperti bahasa kerajaan saja.
“Aku Muhammad
Migan Syarifputra, bisa panggil Migan juga,” kataku simple.
“Oh kalau aku Roy,
nama panjangnya Roy Zylian.”
“Kalau aku Reyan,
nama lengkapnya Pinja Reyan Seraya.”
“Eh, aku juga mau
kenalan deh. Aku Dwi Mulyasari,” kata perempuan berjilbab itu yang katanya ia
ingin dipanggil dengan “Lya”.
“Hei, kamu
Margareth kan? Ayo sini kenalan,” kata Lya begitu juga.
“Aku segan dengan
kalian. Aku Margareth Terenia, aku katholik. Jadi, kita sebenarnya berbeda
agama,” kata dia begitu dengan malu- malu.
“…”
***
“… So, Tahajjud
is very important for muslim, because…” kata dosen itu begitu tegas. Aku
suka dengan materi kuliah kali ini. Dosen itu menerangkan tentang keutamaan
Tahajjud dan sebagainya. Sangat kusukai.
Seusai kuliah aku
langsung menuju flat. Di sana, Margareth sudah menungguku. Wajar saja,
jika ada pelajaran tentang keislaman, Margareth pasti langsung pulang. Tiga
bulan ini, kami sering bercerita masalah agama katholik dengan islam,
perbincangan itu bagiku sangat menarik.
“Aku masih heran
dengan kalian, mengapa kalian beragama Islam mau berteman dengan orang yang
berbeda dengan keyakinan denganku?” tanya Margareth bingung. Aku tersenyum
dengan pertanyaan itu. Pertanyaan yang sangat mudah dan begitu jelas yang bisa
ku jawab.
“Rasul Allah SAW.
pernah bersabda : “ Man laa yar ham laa yurham4” artinya:
“Siapa yang tidak mengasihi sesama manusia, Allah juga tidak mengasihinya.”
Maksdunya ialah jika kami mengharap belas kasihan oleh Allah, maka kami harus
mengasihi juga sesama manusia, toh kamu kan juga manusia,
walaupun berbeda keyakinan dengan kami, jadi tidak ada salahnya kami berteman
dan mengasihi kamu, takubahnya kembali lagi, kami benar-benar mau berharap belas
kasihan oleh Allah,” kataku mantap dan tegas.
“Sangat menarik!”
katanya begitu pula.
***
“Aku mau menjadi mu’alaf5.
Bagiku Islam sangat benar, menarik, dan masuk di akal. Aku mendapat hidayah,
Migan,” kata Margareth di Minggu pagi itu. Aku belum sempat menyeruput
hangatnya teh tarik yang kupesan tadi. Perkataan Margareth membuatku tersontak
kejut. Aku senang.
“Apa orang tuamu
dan keluarga-keluarga katholikmu di Indonesia sudah setuju?” tanyaku
meyakinkannya.
“Sudah, mereka
setuju-setuju saja dengan alasanku yang sejujurnya dan masuk akal di benak
mereka,” kata Margareth dengan mantap.
***
Semenjak Margareth
menjadi mu’alaf, pelajaran-pelajaran tentang keislaman di Universitas
sangat berat ditinggalkannya. Bahkan, Margareth lebih suka dengan pelajaran
tentang keislaman daripada pelajaran eksakta yang lainnya. Perbincangan kami
semakin lama semakin baik. Al-Qur’an baru saja dia belajar sebulan sudah bagus
walau tanpa tajwidnya yang menonjol. Ternyata, perbekalanku di Madrasah dulu
tidak sia-sia karena kuajarkan pada mu’alaf yang pemikirannya sangat
cerdas.
Aku hari ini
benar-benar terkejut. Sangat terkejut. Margareth menarik simpati padaku.
Kata-kata “I love you because Allah, so I hope you want to be my darling!”
langsung mengalir deras di bibirnya yang kemerahan. Auratnya yang sudah sangat
tertutup oleh jilbab yang ukurannya lebih besar daripada jilbab Lya sangat
indah terlihat saat mengungkapkan itu. Ia berani bilang begitu di depan
teman-temanku, Roy, Reyan, dan Lya. Kemudian sorak-sorak itu terdengar dan
kubilang aku mau.
***
Aku melangkahi
bang Sueta. Kali ini dengan rasa mantap aku ingin melamar Margareth. Rasa cinta
itu semakin deras dan aku yakin atas pilihanku ini. Awalnya Ummu tidak
menyetujui kalau aku menikah di Istanbul, kata Ummu, walaupun Margareth
orang Indonesia, lebih baik nikahnya di Indonesia saja. Tapi, akhirnya Ummu
mengerti keinginanku dan mengizinkanku menikah di Istanbul. Begitu juga dengan Abi
dan bang Sueta sendiri yang katanya menikah saja dahulu daripada menunggu ia
mencari jodoh yang tepat.
Juga, Margareth
begitu. Kali ini orang tua Margareth yang masih katholik masih sumringah
melepas anaknya itu. Tapi, sama seperti Ummu bahwa ia mengizinkan
Margareth menikah denganku.
Akad dan pesta
yang sederhana telah dirancangkan Roy, Reyan, dan Lya. Mereka teman yang baik.
Sekalian untuk malam zafaf6, mereka memesan hotel yang cukup
mewah juga untuk kami. Hatiku sangat senang, sangat senang sekali.
***
Segala puji bagi
Allah SWT. aku resmi menjadi istri Margareth. Seusai akad itu langsung diadakan
pesta yang sederhana saja. Kami hanya mengundang dosen-dosen di Universitas,
teman yang lain yang berasal dari Indonesia, teman akrab yang ada di Turki, dan
pedagang atau tetangga flat yang lainnya. Sangat sedikit tapi sangat
berarti.
Sorenya aku dan
Margareth langsung menuju ke hotel yang sudah dipesan oleh teman-temanku.
Sangat mewah dan indah. Aku saja sampai terkagum-kagum melihat keindahannya.
Kami langsung menuju ke kamar kami yang di antarkan oleh teman-teman.
“Jangan malu-malu
yah, Reth!” kata Lya begitu.
“Eh Gan, nanti
jangan terlalu nafsu kali yah!” kata Roy begitu.
“Udahlah woi!
Biarin orang ini berdua, kita pulang aja yuk!” suruh Reyan begitu. Mereka
bertiga memang sangat usil. Margareth hanya menanggapi mereka dengan senyuman
simpul. Setelah mereka benar-benar masuk ke lift, aku dan Margareth
langsung masuk ke kamar dan memulai malam zafaf ini.
Kubukakan segala
yang menempel di tubuhnya, dan dia juga memperlakukanku begitu. Kurabai
segalanya secara puas karena ini sudah halal bagiku dan Margareth. Dan
semakin lama semakin merajarela dan surga dunia itupun langsung kurasai dan
kurangsangi dengan puas.
***
Margareth
membangunkanku tengah malam. Rasanya aku susah sekali mensudahi malam zafaf
ini. Margareth menyuruhku untuk mandi wajib dan untuk tahajjud. Margareth juga
tidak ingin solat sunnah yang disebutkan di Al-Qur’an dan sangat banyak
manfaatnya itu kulewatkan satu malam saja. Dinginnya air terpaksa aku lewati
karena di kamar mandinya air panasnya tidak berfungsi. Akhirnya aku berniat dan
menunaikan solat tahajjud. Sungguh, bagiku kali ini, solat tahajjud terindah.
***
Lebaran kedua, aku
dan Margareth baru dapat pesawat karena dari jauh hari sudah banyak yang
memesan untuk penerbangan ke Indonesia. Aku sudah kangen sama Ummu, Abi,
dan juga bang Sueta. Kali ini, aku membawa istriku yang baik ini dengan kandungannya
yang baru saja menginjak satu bulan. Keluarga Margareth juga di suruh langsung
ke rumahku agar bertemu di sana saja. Akhirnya, senyuman itu langsung saja
terpancar, karena dua keluarga besar akan berkumpul di rumahku yang tak
besar-besar sekali.
Sore itu, aku
sampai di Indonesia. Alhamdulillah perjalanannya tidak ada hambatan. Aku
sudah kangen menunggu sosok Ummu yang akan kupeluk nantinya. Aku menyuruh
Margareth yang mengambilkan koper-koper saking sudah tidak tahannya
ingin bertemu Ummu. Tapi, sosok itu saat melihat batang hidungku sangat
marah padaku.
“Ceraikan
perempuan katholik itu! Apa kau sudah menjadi katholik?! Jadi, di Turki kau
menjadi katholik? Jelaskan semua ini anakku, Migan!” kata Ummu begitu
padaku. Aku terkekjut. Ternyata keluarga Margareth yang katholik sejak siang
tadi sudah menginjak ke rumahku. Disitulah baru semua asal usul Margareth
keliahatan. Aku sudah menjelaskannya dengan sekerah tenanga dan hasilnya nihil.
Aku tetap harus menceraikan Margareth secepatnya.
***
Aku lulus. Wisuda
kali ini, Ummu, Abi, dan bang Sueta pergi ke Turki menghadiri
acara wisudaku, sekalian berlibur ke Istanbul. Aku juga menemui keluarga Roy,
Reyan, dan Lya yang tampak akrab bersenda gurau dengan Ummu dan Abi.
Terlihat juga keluarga Margareth yang katholik, juga Margareth yang kembali
menjadi katholik, dan menggendong sebuah bayi. Ya, dia anakku. Aku ingat saat
di pengadilan waktu itu, akhirnya keluarga Margareth terpaksa memaksa Margareth
masuk katholik lagi, karena dia telah gagal mempertahankan pernikahannya,
alasan yang tidak masuk akal. Menurutku, Maragareth adalah mantan istriku yang
terbaik, dan dia sekarang sudah menjadi milik orang lain, yang sekarang di
mataku terlihat memeluk Margareth dan bayiku. Sekarang, aku bingung aku akan
menikah dengan siapa. Dan aku akan meninggalkan Istanbul, padahal Istanbul
banyak kenangan terindah, salah satunya Tahajjud.
Footnotes:
1: bahasa arab
yang berarti “ibu”.
2: bahasa arab
yang berarti “bapak”.
3: seperti
ruangan di sebuah apertemen.
4: HR Bukhari dan
Muslim.
5: orang yang
masuk agama Islam.
6: malam
pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar